12.26.2011

168 Jam Dalam Sandera - Memoar Jurnalis Indonesia Yang Terperangkap Di Perang Irak

Buku yang dikemas dalam bentuk cerita mengenai kisah menegangkan Meutya Hafidz pembawa acara berita Metro TV dengan kameramennya ketika meliput suasana perang Irak yang saat itu diinvasi oleh Amerika Serikat, buku yang diberi judul 168 Jam Dalam Sandera ini bercerita dengan begitu detail mengenai bagaimana mereka bisa ditangkap oleh pejuang mujahidin, serta bagaimana ketegangan oleh semua penyandera dan sandera saat pesawat tempur Amerika menjatuhkan bom dalam patrolinya, serta bagaimana Meutya dapat memahami penyanderaan ini dengan kacamata kemanusiaan dimana para sandera sangat terpaksa untuk melaukan hal ini, apalagi kedua sandera merupakan Muslim yang kemudian dalam penyekapan diperlakukan dengan begitu baik layaknya saudara.


Berikut ulasannya dari situs pribadi Meutya Hafid.com :

"Penyanderaan selalu berakhir dramatis, apakah penyanderaan itu dengan kekerasan, pembunuhan, atau sebaliknya tanpa kekerasan sedikitpun. Pasalnya, penyandaeraan itu–berapapun lamanya–merupakan tindakan perampasan hak-hak manusia.

Pada intinya penyanderaan merupakan tindakan kekerasan dan pemaksaan. Meski akhirnya sandera dibebaskan, pasti meninggalkan luka yang dalam. Bila sandera tak kuat, berpengaruh pada aspek psikologis luar biasa.

Sudah sering kita membaca dan melihat tayangan penyanderaan, terutama di daerah konflik dan perang seperti di Irak, Palestina, Afghanistan, atau Aceh ketika masih bergolak. Peristiwa terakhir yang kita saksikan, penyanderaan 23 pekerja sosial asal Korea oleh militan Taliban di Afghanistan–dua sandera tewas ditembak, dua dilepas, dan sisanya dibebaskan bersama atas bantuan/lobi Indonesia–juga menggambarkan tragisnya sebuah penyanderaan.

Meutya Hafid–penyiar dan presenter Metro TV–bukan hanya sering membacakan berita sekitar kasus penculikan dan penyanderaan , atau bahkan menyaksikan langsung rekaman penyanderaan yang berujung maut dengan cara-cara yang sangat sadis, ia pun mengalami peristiwa yang belum pernah terbayang dalam hidupnya, disandera.

Bersama rekannya, kameramen Budianto, Meutya disandera kelompok pejuang atau faksi Mujahidin Irak selama satu pekan, 15–22 Februari 2005.

Peristiwa penculikan dan penyanderaan Meutya dan Budianto itu menjadi berita besar, bukan hanya di Tanah Air, tapi di dunia, mengingat yang menjadi korban adalah wartawan, profesi yang seharusnya bisa bebas menjalankan tugas jurnalistik di tengah konflik dan perang. Meskipun faktanya, dalam perang Irak, tidak sedikit wartawan yang menjadi korban.

Pengalaman Meutya selama dalam penyanderaan dan disekap di sebuah gua kecil di tengah gurun pasir antara Kota Ramadi dan Fallujah itulah yang ditulis dalam buku menarik berjudul 168 Jam Dalam Sandera: Sebuah Memoar. Buku yang diterbitkan Hikmah Memoar dan diberi pengantar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini diluncurkan Jumat (28/9) sore.

Meutya menuliskan pengalaman hidup dalam gua dan ancaman maut yang sewaktu-waktu menjemputnya sebagai seorang sandera dengan sangat mengalir dan penuh perasaan. Gaya bercerita memang tidak runtut melainkan menggunakan model penulisan novel flashback. Kisah penculikan pun langsung ditempatkan di bab pertama.
Pembaca diajak mengikuti suasana perang Irak, ketegangan demi ketegangan, perilaku para penyandera, kepasrahan dan juga harapan-harapan Meutya akan pembebasan. Dalam buku setebal 219 halaman itu, Meutya menyelipkan potongan-potongan pengalaman hidupnya, baik saat masih SMP, mendapat beasiswa ke Singapura, ketika kuliah di Australia, dan juga kehidupan keluarganya, terutama saat sang ayah yang disebut pelindung dirinya, tiba-tiba sakit dan dipanggil Allah SWT.

Perempuan Disarang Penculik

Di tengah kesibukannya, penyiar dan presenter cantik kelahiran 3 Mei 1978 dengan nama lengkap Meutya Viada Hafid ini menyempatkan diri berbincang dengan SH, Selasa (25/9) di Hotel Sultan, itu pun di sela rekaman acara Ramadan.

Alumnus School of Mechanical and Manufacturing Engineering, University of New South Wales, 2001, ini masih ingat betul hari-hari yang terasa sangat panjang di dalam gua sempit di tengah gurun pasir yang diisi lima orang–dia, Budi, Ibrahim si pemandu dan dua sang penyandera. Satu-satunya lubang seperti yang dibatasi terlis seperti penjara berfungsi sebagai ventilasi udara.

Sebagai satu-satunya wanita di dalam gua penyanderaan, kita bisa membayangkan bagaimana risihnya Meutya. Soal ini diceritakan juga dalam buku, termasuk usaha pelecehan yang dialami, meski masih sebatas kerlingan mata dan upaya “membenahi” kerudung yang digunakannya.

Selain kekhawatiran tindakan tragis yang selalu menyelinap di hati pemenang Samsung Award sebagai wanita pemberani (2006) ini, masalah sehari-hari di gua dijalani dengan ketidakpastian. Bagaimana soal rutinitas metabolisme tubuh? Meutya menceritakan (dalam buku disinggung sedikit) bagaimana selama dalam gua itu tidak pernah ke belakang atau buang air besar (BAB), padahal itu rutin setiap pagi bila dalam keadaan normal.

“Mungkin karena situasi memaksa perut bisa menahan BAB,” ungkapnya sambil menambahkan selama satu pekan itu dia tak nafsu makan meski ada menu kebab dan sesekali potongan daging.

Namun untuk urusan buang air kecil, ada komitmen di antara penyandera. Bila tidak tertahankan lagi, Meutya boleh keluar gua dengan membawa sedikit air dan waktu yang sangat terbatas, sementara semua lelaki di dalam gua. Bayangkan di gurun pasir terbuka seperti itu. Buat wanita dewasa seperti Meutya, ini merupakan penyiksaan lain dari penyenderaan.

Toh semua pengalaman akhirnya bisa dilalui Meutya dan Budianto, meski dia dalam beberapa kesempatan sudah menyerahkan diri pada Allah, takdir apa yang akhirnya akan diterima.

Hari-hari menjelang pembebasan juga penuh liku-liku. Semuanya diawali dengan pernyataan Presiden Yudhoyono–seperti dituntut kelompok Mujahidin bahwa Meutya dan Budianto memang bertugas dan tidak ada kaitan dengan urusan politik–dan permintaan tokoh-tokoh Muslim Indonesia akan mereka segera dibebaskan.
Presiden dalam pengantar buku ini juga mengungkap kembali bagaimana dia tiba-tiba dibangunkan oleh telepon Dino Patti Djalal ihwal penculikan dan langkah cepat yang harus dilakukan.

Proses kreatif untuk menguntai kembali pengalaman dan cerita penyanderaan dilakukan Meutya selama dua tahun. “Kalau bukan karena dorongan teman-teman dan berbagai kalangan, mungkin pengalaman ini masih terpendam,” ujar Meutya.

Ketika ditanya bagaimana perasaannya melihat Irak saat ini, penerima beasiswa ASEAN Scholarship frim Minister of Education Singapura untuk menempuh SMA tiga tahun di sana, menyatakan, Irak sudah demikian hancur. Kehidupan, kebudayaan, masa depan rakyat Irak bagai tanpa harapan.

“Hanya Tuhan yang mampu memperbaiki kehancuran ini,” katanya. Tapi, soal penyanderaan, “Meski saya mengalaminya tanpa kekerasan fisik, tapi apa pun bentuknya penyanderaan itu telah merampas hak-hak dan kebebasan manusia, dan itu menyakitkan.”



168 JAM DALAM SANDERA --- DIRECT LINK HERE


Selamat Membaca.

Password Link Download : artzoneplus

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons